CERITA

Tongkat Tunggal Panaluan dibuat setelah Ajibonda Hatautan dan Boru Tapinauasan, kembar lain jenis keturunan Guru Hatautan dan Sindak Panaluan melakukan hubungan inses saat mereka beranjak dewasa.Takut untuk pulang ke rumah orang tua mereka, Ajibonda Hatautan dan Boru Tapinauasan memilih tinggal di tengah hutan.
Celaka, mereka berdua malah lengket di pohon tersebut bersana-sama, dengan dukun dan binatang yang dikerahkan oleh Guru Hatautan untuk membebaskan putra dan putrinya, agar tetap bersama mereka, Guru Hatautan menyuruh seseorang untuk membuat tongkat panjang dari batang pohon tersebut.
Tongkat itulah yang kemudian diberi nama Tongkat Tunggal Panaluan.
Tongkat Tunggal Panaluan oleh semua sub suku Batak diyakini memiliki kekuatan gaib untuk : meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, Wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan dll. Ada beberapa versi mengenai kisah terjadinya tongkat Tongkat Tunggal Panaluan yang memiliki persamaan dan perbedaan, sehingga motif yang terdapat pada tongkat Tongkat Tunggal Panaluan juga bervariasi




Sampuraga

  
Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

Batu gantung dan Asal-usul Nama Kota Parapat .


Alkisah, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
gambar batu gantung di parapat
Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Sumber:
* http://literature.melayuonline.com/
* Isi cerita diringkas dari Syamsuri, Maulana. t.t. Danau Toba dan Pulau Samosir dengan Beberapa Dongeng Sumatra Utara. Surabaya: Greisinda Press.
* Anonim. “Menikmati Keindahan Parapat”, :http://www.silaban.net/2007/06/30/menikmati-keindahan-parapat/#more-2245, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Anonim. “Parapat, Keindahan di Tepi Danau”, www.budpar.go.id, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Anonim. “Parapat”, http://id.wikipedia.org/wiki/Parapat”, diakses tanggal 2 Januari 2008.
* Effendy, Tenas. 1994. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau.Pekanbaru: Bappeda Tingkat I Riau.
* ——-, 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.

Itor itor Galot, Cerita Rakyat Sumut

Dari BudayaIndonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Galot (dalam bahasa Indonesia artinya musang) merupakan binatang yang keluar mencari makan dimalam hari dan tidur di siang hari. Tor-tor artinya tari. Itor-tori berarti menari-nari. Itor-tori galot berarti musang menari-menari. Istilah itor-tori galot merupakan ungkapan didalam bahasa Simalungun untuk menggambarkan pekerjaan yang tidak pernah diselesaikan.
Sebagian besar masyarakat Simalungun hidup dari pertaninan. Setiap keluarga Simalungun pasti memiliki ladang yang luas. Diladang mereka menanam padi, kopi, cabe, jahe dan tanaman palawija lainya. Setiap hari orang tua mengajak anak-anaknya untuk bekerja diladang mulai dari pagi hingga sore. Jika si anak bersekolah, maka ada kompensasi untuk si anak untuk ikut kerja keladang setelah makan siang, artinya setelah jam sekolah. Begitu pulang sekolah, si anak harus buru-buru pulang ke rumah, mengganti pakaian sekolah dengan pakaian lusuh untuk siap ke ladang. Perjalanan dari rumah ke ladang mungkin jauh, atau dekat tergantung jarak ladang dengan rumah nya. Bagi mereka yang memilik ladang yang jauh dari rumah, biasanya anak-anak sekolah janjian di sekolah agar pergi ke ladang bisa bersama-sama.
Setelah tiba diladang, si anak makan siang, mungkin si anak sudah dintunggu oleh bapak atau ibuya agar bisa makan siang bersama. Setelah makan, mereka kembali bekerja diladang sampai sore. Pekerjaan saat itu mungkin bisa saja mencangkul sebidang tanah, atau menyiangi/membersihkan rumput-rumput liar diantara tanaman kopi, padi, jahe, cabe, jagung atau yang lainya. Atau mencangkul untuk membuka lahan baru, atau menggemburkan tanah untuk persiapan menanam.
Istilah itor-tori galot sering diberikan kepada pekerjaan yang tinggal sedikit lagi belum selesai, tapi pemiliknya tidak menyelesaikanya. Dari sekian hektar tanah yang dikerjakan selama beberapa minggu ini, maka kadang-kadang entah karena alasan apa, ada kemungkinana beberapa meter persegi tanah pekerjaan tersebut yang belum selesai.
Pekerjaan ini harus segera diselesaikan jika tidak akan ditor-tori galot. Jika ditor-tori galot, maka pekerjaan itu tidak akan pernah selesai karena pemilik ladang tersebut tidak pernah kembali mengerjakanya karena enggan atau mungkin sudah sibuk pekerjaan baru lagi, mungkin harus membuka lahan baru atau ada lahan yang harus dibersihkan dari rumput-rumput liar. Akhirnya pekerjaan yang tertinggal tersebut tidak pernah selesai. Inilah yang disebut dengan itor-tori galot. Sebenarnya ini istilah saja. Bukan berarti, jika galot menari-nari berkeliling disitu, maka sisa pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Ini hanya ungkapan. Pekerjaan itu pasti terselesaikan, jika si pemilik ladang tersebut kembali lagi ke esokan harinya untuk menyelesaikan nya.
Apa pelajaran yang bisa ambil dari sini?
Jika Anda memiliki pekerjaan dan Anda yakin mampu menyelesaikanya hari ini, jangan tunggu-tunggu, selesaikanlah hari ini juga, karena besok Anda sudah mempunyai/atau harus mengerjakaan pekerjaan lain lagi. Jangan sampai pekerjaan Anda hari ini itor-tori galot, selesaikan sekarang juga.
Sumber : http://rapolo.wordpress.com

 

Hikayat Boru Napuan, Cerita Rakyat Sumut

Dari BudayaIndonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Raja Mangatur (II) Manurung menikah dengan Nantiraja Boru Rumapea putri dari Pu Lahang Mahua Rumapea dari pulau Samosir. Raja Mangatur (II) Manurung adalah kakek dari Tuan Sogar Manurung. Pu Lahang Mahua Rumapea memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri.
Ketiga orang putranya itu adalah

1. Puraja Naginjang,


2. Guru Badia


3. Raja Natota.

Dan ketiga orang putrinya adalah :

1. Nantiraja menikah dengan Raja Mangatur Manurung

2. Nanti Malela menikah dengan marga Tamba/Saragi

3. Siulatahi menikah dengan marga Sitanggang

Boru Nantiraja istri Raja Mangatur telah memiliki beberapa orang anak laki-laki dan adiknya Nantimalela yang menikah ke Tamba/Saragi telah memiliki beberapa orang anak perempuan. Ketika Nantiraja baru melahirkan anak lakilaki, beberapa hari kemudian, adiknya Nantimalela melahirkan seorang putri di Pulau Samosir. Nantiraja berangkat ke Samosir mengunjungi adiknya yang baru melahirkan, dan putranya yang baru lahir turut dibawa.
Nantiraja memangku putri adiknya itu, dan Nantimalela juga memangku putra kakaknya. Setelah puas melepas rindu dan kebahagiaan mereka, Nantiraja pulang ke Uluan. Diperjalanan, saat mengganti popok bayinya, dia menyadari bahwa bayi yang dipangkuannya adalah perempuan, dan sudah pasti adalah bayi adiknya Nantimalela. Nantimalela juga mengalami hal yang sama di Samosir, putra kakanya tertinggal dan putrinya terbawa. Setelah berita itu saling diketahui kedua belah pihak, akhirnya disepakati akan mengembalikan pada waktu ada kesempatan.
Lama kelamaan, mereka menyayangi bayi tersebut dan dianggap anak sendiri dan dibesarkan hingga dewasa. Marga yang mereka gunakan untuk anaknya itu adalah sesuai dengan marga suaminya masing-masing.
Putra Nantimalela yang dilahirkan Nantiraja tetap menggunakan marga Tamba/Tamba dan tinggal di Samosir.
Putri Nantiraja yang dilahirkan Nantimalela diberi nama Boru Napuan dengan gelar Boru Inggal-inggal dan dimanjakan dan disayang semua keluarga Manurung dan tetap menggunakan marga Manurung.
Setelah dewasa, Boru Napuan menikah dengan Raja Parmata Manunggal Damanik dari Sipolha. Manurung bersaudara mendapatkan berupa barang pusaka dari mertua Napuan karena Raja Parmata Manunggal adalah turunan orang berada dan seorang raja yang dihormati di Sipolha.
Sumber : http://rapolo.wordpress.com

Silinduat (Kembar)

Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pulau Samosir di desa si dugur-dugur tinggallah seorang laki-laki bernama guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang si Baso atau pendeta namanya datu Arak ni pane. Istrinya bernama Nansindak panaluan. Mereka sudah lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang anak. Sesudah perempuan itu hamil maka luar biasa lamanya barulah anak itu lahir, semua penduduk kampung itu menganggap keadaan itu hal yang gaib, saat itu juga terjadi kelaparan juga teriknya tak tertahankan, kerah tanah menutupi hubangan-hubangan dan rawa-rawa. Karena kepala persatuan pemujaan roh-roh menjadi risau ia pergi menjumpai guru Hatimbulan dan mengatakan kepadanya : mengapa keadaan yang seperti ini tidak berubah-ubah karena kejadia belum pernah terjadi mereka pergi untuk mencari sebabnya dan mengajak kepada Debata atau dewa yang adil sehingga guru Hatimbulan menjawab :” semua bisa terjadi” lalu raja Bius mengatakan :” semua orang heran mengapa istrimu begitu lama hamil para bidan menerangkan bahwa kehamilan itu telah terlalu lama karena perkataan itu maka timbullah pertengkaran akan tetapi tidak ada yang cidera atau mati. Saat itu juga perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan seketika itu juga maka hujan pun turun lebat, semua tanam-tanaman tumbuh dengan segar sehingga guru Hatimbulan memotong seekor lembu untuk mendamaikan kekuasaan jahat itu. Ia juga mengundang semua pengetua-pengetua dan kepala-kepala dalam perjamuan itu dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putra itu di beri nama Aji donda atahutan dan putri itu di bri nama Si boru Tapi nauasan. Sehabis pesta tamu-tamu telah menasehatkan supaya anak-anak itu jangan kiranya bersama-sama di asuh, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab kelahiran kembar, istimewa yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut pahamter, akan tetapi guru Hatimbulan tudak mengendalikan nasehat arif bijak sana dari pengetua-pengetua dan kepala itu. Lama-kelamaan terbuktilah apa yang diungkapkan pengetua itu benar-benar. Guru Hatimbulan mendirikan gubuk kecil di bukit suci, kemana dia membawa anak-anak itu, seekor anjing kurus membawa mereka dalam setiap hari guru Hatimbulan membawa mereka setelah anak-anak itu menjadi dewasa maka putri atau gadis itu ketika berjalan-jalan kebetulan melihat sebuah pohon bernama pui-piu tanggu. Pohon itu mempunyai buah yang masak dan manis, si boru Tapinuansa ingin makan buah-buah itu karena itu ia memanjat buah pohon tersebut, ia mengambil dan memakainya akan tetapi ia di telan pohon itu dan ia menjadi satu dengan pohon tersebut, hanya saja kepalanya masih kecil dan kelihatan. Saudaranya menunggu sampai sore dalam kebimbangan mengenai nasib saudaranya kemudian dia pergi ke hutan untuk memeriksanya sambil memanggil-manggil namanya dengan suara yang nyaring. Dekat pada pohon tersebut sehingga gadis tersebut menyahutinya, Donda heran melihat kejadian itu dan menayakkan mengapa sampai terjadi hal ini. Donda memanjat pohon itu dengan maksud menolong saudaranya, akan tetapi ia juga lengket di pohon tersebut. Kedua anak itu menjerit minta tolong akan tetapi suara sedih hilang dalam gelap gulita itu. Besok paginya anjing mereka datang berlari-lari maka ia pun ikut juga tertelan di pohon itu hanya saja kepalanya kelihatan. Guru Hatimbulan telah kehabisan akal ia telah banyak mengeluarkan uang untuk datu-datu keperluan gondang dan kurban untuk roh-roh, apa saja yang ia minta diberikan tetapi ia menjadi putus asa. Beberapa hari kemudian ia menemukan datu parponsa ginjang memperkenalkan dirinya. Ia menerangkan dengan pasti bahwa ia dapat melepaskan orang-orang itu. Guru Hatimbulan mendengarnya ia menjawab janganlah kutuk saya, tetapi kutuk lah dirimu sendiri lalu roh itu berkat ” jikalau begitu semestinya bapak pergunakanlah saya dari sekarang sebagai:

  1. Penangkal pada musim hujan

  2. Pemanggil hujan dalam musim kemarau

  3. Penasehat dalam pemerintahan dalam negeri

  4. Teman seperjuangan dalam peperangan

  5. Sumber kebusukan, kerusakan dalam penyakit dan kematian

    Legenda Danau Toba

    Di rangkum dari Hasil cerita orang tertua setempat.
    Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau Sumatra. Daerah tersebut sangatlah kering. Pemuda itu hidup dari bertani dan mendurung ikan, hingga pada suatu hari ia mendurung,sudah setengah hari ia melakukan pekerjaan itu namun tak satu pun ikan di dapatnya.
    Maka dia pun bergegas pulang karena hari pun mulai larut malam, namun ketika ia hendak pulang ia melihat seekor Ikan yang besar dan indah , warnanya kuning emas. Ia pun menangkap ikan itu dan dengan segera ia membawa pulang ikan tersebut, sesampainya di rumah karena sangat lapar maka ia hendak memasak Ikan itu tetapi karena indahnya ikan itu.
    Dia pun mengurungkan niatnya untuk memasak ikan itu, ia lebih memilih untuk memeliharanya, lalu ia menaruhnya di sebuah wadah yang besar dan memberi makannya, keesokan harinya seperti biasanya ia pergi bertani ke ladangnya, dan hingga tengah hari Ia pun pulang kerumah, dengan tujuan hendak makan siang, tetapi alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat rumahnya, didalam rumah nya telah tersedia masakan yang siap untuk di makan, ia terheran heran, ia pun teringat pada ikannya karena takut di curi orang, dengan bergegas ia lari ke belakang, melihat ikan yang di pancingnya semalam. Ternyata ikan tersebut masih berada di tempatnya, lama ia berpikir siapa yang melakukan semua itu, tetapi karena perutnya sudah lapar , akhirnya ia pun menyantap dengan lahapnya masakan tersebut.
    Dan kejadian ini pun terus berulang ulang, setiap ia pulang makan, masakan tersebut telah terhidang di rumahnya. Hingga pemuda tersebut mempunyai siasat untuk mengintip siapa yang melakukan semua itu, keesokan harinya dia pun mulai menjalankan siasatnya, Ia pun mulai bersembunyi diantara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan lama menunggu, namun begitu Ia akan keluar dari persembunyiannya, Ia mulai melihat asap di dapur rumahnya, dengan perlahan lahan ia berjalan menuju kebelakang rumah nya untuk melihat siapa yang melakukan semua itu.
    Alangkah terkejutnya dirinya ketika ia melihat siapa yang melakukan semua itu, Dia melihat seorang Wanita yang sangat cantik dan ayu berambut panjang , dengan perlahan lahan Ia memasuki rumahnya, dan menangkap wanita tersebut. Lalu Ia berkata,
    “hai .. wanita, siap kah engkau, dan dari mana asalmu?”
    Wanita itu tertunduk diam, dan mulai meneteskan air mata, lalu pemuda itu pun melihat ikannya tak lagi berada di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu,
    “hai wanita kemanakah ikan yang di dalam wadah ini?”
    Wanita itu pun semakin menangis tersedu sedu, namun pemuda tsb terus memaksa dan akhirnya wanita itu pun berkata
    “Aku adalah ikan yang kau tangkap kemarin” .
    Pemuda itu pun terkejut, namun karena pemuda itu merasa telah menyakiti hati wanita itu , maka pemuda tsb berkata,
    “Hai wanita maukah engkau menjadi Istri ku..??”,
    Wanita tsb terkejut , dia hanya diam & tertunduk ,lalu pemuda tsb berkata
    “Mengapakah engkau diam ..!!” .
    Lalu wanita tsb pun berkata , “ aku mau menjadi istri mu .. tetapi dengan satu syarat, apakah syarat itu balas pemuda itu dengan cepat bertanya, wanita itu berkata,
    “Kelak jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anakni Dekke(anaknya ikan)”.
    Pemuda itu pun menyetujui persyaratan tsb dan bersumpah tidak akan mengatakannya, Dan menikahlah mereka.
    Hingga mereka mempunyai anak yang berusia 6 tahunan , anak itu sangatlah bandal (jugul) dan tak pernah mendengar jika di nasehati, Lalu suatu hari sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang ketempat ayahnya, anak itu pun pergi mengantar nasi kepada ayahnya, namun di tengah perjalanan ia terasa lapar, Ia pun membuka makanan yang di bungkus untuk ayahnya, dan memakan makanan itu. Setelah selesai memakannya, kemudian ia pun membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanannya ketempat sang ayah, sesampainya di tempat sang ayah Ia memberikan bungkusan tersebut kepada sangayah, dengan sangat senang ayahnya menerimanya, lalu ayahnya pun duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang di titipkan istrinya kepada anaknya, alangkah terkejutnya ayahnya melihat isi bungkusan tersebut. Yang ada hanya tinggal tulang ikan saja,sang ayah pun bertanya kepada anaknya
    “hai anakku., mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka”, anaknya nya pun menjawab, “ di perjalanan tadi perutku terasa lapar jadi aku memakannya”, sang ayah pun emosi, dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata
    “Botul maho anakni dekke (betul lah engkau anaknya ikan),”
    Sang anak pun menangis dan berlari pulang kerumah.,sesampainya dirumah anaknya pun menanyakan apa yang di katakan ayahnya
    “mak .. olo do na di dokkon amangi, botul do au anakni dekke (mak .benarnya yang dikatakan ayah itu , benarnya aku ini anaknya ikan)” mendengar perkataan anaknya ibunya pun terkejut, sambil meneteskan air mata dan berkata di dalam hati.
    “Suami ku telah melanggar sumpahnya,dan sekarang aku harus kembali ke alamku,”
    Maka , langit pun mulai gelap , petir pun menyambar nyambar, Hujan badai pun mulai turun dengan derasnya, sang anak dan ibu raib, dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas derasnya, hingga daerah tersebut terbentuk sebuah Danau, yang Diberi nama Danau TUBA yang berarti danau tak tau belas kasih ,tetapi karena orang batak susah mengatakan TUBA, maka danau tersebut terbiasa disebut dengan DANAU TOBA..
    Sekian terima kasih,